Diary menuju Bangku Panjangku part 1


Sadar betul. Begitu sadarnya aku sebagai hamba ALLAH yang disebut wanita. Wanita desa biasa dari orang tua sederhana dengan IQ kurang dari sebuah senyum simpul kepuasan. Namun [kata ibu] mempunyai mimpi dan impian yang banyak jumlahnya dalam angan. Hanya mimpi yang dapat membuatku tetap hidup pikir pendekku. Dengan mengorek habis hakikat hidup sebagai seorang hamba yang mempunyai bergudang mimpi sebagai pertahanan hati .


Anganku merajut kembali kala daku masih berseragam putih merah dan tinggiku satu kaki dari tinggiku hari ini. Iya, ketika ditanya guru Bahasa Indonesia tentang cita-cita, ku bawa pulang pertanyaan menganga mulut mungilku saat itu. Kalut. Tak ada yang perlu dikatakan, pikirku. Ku tanyakan ayah ibuku tentang pertanyaan kecil dari guruku itu, mereka sepakat menjawab 'guru' sebagai pilihan alur takdirku untuk mereka. Mulutku terkatup tak berkata, hanya mampu mengiyakan dengan senyum tipis tak bernada. Ku bawa mimpi mereka untuk kuwujudkan sampai bangku SMP untuk ku perjuangkan. 12 tahun saat itu menjadi titik temu impian-impian konyol yang kubangun dari armada sederhana. DUBES. Iya, wanita yang kuagungkan itu duduk dalam lingkup singgasana kerajaan. Bertabur masalah hubungan baik dan membaikkan dengan pihak penerima itu membuatku mengucap kagum dalam hati.


Pilar itu ku kokohkan kembali, belajar untuk mempelajari dan mencintai bahasa Internasional menjadi modal utama ku untuk berkembang. Menumbuhkembangkan kemampuan untuk menghantaran ku pada indahnya istana setitik kepuasan dunia fana. Tetapi dunia tak sempit, bukan? Kala ku adukan pada orang tua yang telah berjuang menafkahi studi ku selama ini, yang kudapat bukanlah sebuah motivasi tersungging damai dalam sebuah senyuman. Namun sebuah tawaan tak percaya dan tak berdaya dari mereka. Angin kolot tradisional menerpa wajah muramku saat itu. Mereka menembakkan berbagai amunisi pelemah istiqomahku bertubi-tubi. Hanya ingin menuangkan tangisanku sepenuh jiwa tak percaya. Dengan menceritakan cerita klasik anak desa yang hidup sesuai fitrahnya. Fitrahnya? Tak kumengerti akan hal itu, ayah... Tak dapat kurenungkan dalam hatiku, ibu... Sungguh kuhormati berbagai kebijakan-kebijakan mengajariku segalanya dalam dunia. Kau pencetak suksesku saat ini, dan daku hanya mesin bergerak dalam lingkaran angan kalian. Kuyakin dikau mendidikku dengan baik, ayah... Sehingga tak dapat kupungkiri kuberi bendera putih diatas anganku sendiri. Mengelana sepi dalam ribuan tumpukan mimpi dalam bidang hatiku.

Kumengerti dengan jelas hitam putih kehidupan dalam drama tragedi film kita, ayah... Kita renungkan kembali jejak apa yang tertinggal dalam sebuah rencana gagal. Ku tertawakan rencana-rencana konyol menggapai bintang dengan berbagai pewarna langit dan aroma malam kelam. FISIPOL HI. SASTRA INGGRIS UI. Iya, kuceritakan pada kakakku tentang semua pondok pemimpi yang kubangun beberapa tahun lalu. Diulurkannya tangan di pundakku. Mengajariku berdiri. Memulai berjalan. Melongok kisah-kisah ayah dan ibu bersama dalam hidup yang extra ordinary itu. Diputar ulang roman-roman yang lengkap berisi riang tawa dan gemericik air mata. Tampak api meredam semangat muncul dalam haru biru wajahnya. Riang menyungging senyum buatku peduli akan kelancaran alur hidupku selanjutnya nanti. Kusulam kembali berbagai jahitan yang telah lama kulupakan adanya. Kusaksikan kembali lengkungan pelangi dalam berbagai segi pandang naluri. Huuuuuuuffffffttttt,,,, angin pun semerbak menemani aroma matahari sore panjang dalam penantian menuju malam.



....



8 Januari 2011

kala kau tangiskan mata hatiku kembali dengan kata bijakmu...