Ku renggangkan alat pengukur jarak di antara kita. Terlampau jauh saat ku bungkukkan badan melihat jalan setapak menuju peraduan jaman. Kisahku akan ku ulang kembali. Karena diriku tak mungkin merubah sebuah komitmen yang telah lama terpatri. Bukan karena terpancung dalam perlombaan sengit dalam nurani. Namun membius mata hati untuk menelusuri jawaban pertanyaan-pertanyaan yang telah lama bersemayam. Pertanyaan yang tak ubah nya menerpa akal untuk memikirkan keras jalan cerita yang dilalui. Sakitnya hati hanya satu dari ribuan resiko hidup. Tangisan bagai angin semilir untuk sesaat. Tak perlu membanggakan ratusan luka meradang. Namun cara kita menumpas semua kekesalan hati adalah simbol kepuasan diri. Kebijaksanaan maupun kedewasaan merupakan lapisan pembangun keberhasilan mengalahkan nafsu membedakan opini antara akal maupun hati.
Jika mudah untuk kita berkata, tak akan sama kisahnya dengan membangun niat untuk berpribadi. Didasarkan dengan alasan dan kemauan kuat untuk mengakar tanah semua komitmen. Juga diperlukan lapisan benteng tahan goncangan saat mulai beroperasi.
In another sense of meaning, hidup memerlukan pupuk seperti tanah yang haus akan kegemburannya. Namun jika melebihkan takaran, berdampak dengan tanaman yang menerima berbagai tekanan batin dan akhirnya memutuskan untuk behenti meluruskan tekad. Stop. Mati.
So, hiduplah sesuai fitrah TuhanMu. Karena hanya Dia lah yang mampu menyelamatkanmu kelak.....
11 Desember 2010
Untukmu, pujangga cintaku....
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar